Minggu, 31 Juli 2011

HEPATITIS A-E,MANA YANG BERBAHAYA BAGI JANIN,,,,,?????(SARAH FLOWER'S)

SARAH FLOWER'S

Ibu mana yang tidak senang akan memiliki sang buah hati? Hampir semua ibu yang ada di dunia pastilah senang akan kehadiran buah hatinya dan itu dibuktikan melalui penantian yang amat panjang, yaitu kira-kira selama 9 bulan lebih lamanya membawa perut besar yang berisi sang buah hati di dalamnya. Para ibu rela menunggu dengan sabar dan bersusah payah menjaga sang buah hatinya selama itu. Sungguhlah perjuangan yang amat berat. Akan tetapi, dibalik usahanya yang keras, para ibu hamil sangatlah rentan terkena penyakit. Banyak hal bisa mengganggu kondisi ibu hamil. Berbagai penyakit bisa datang dalam kondisi tersebut. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah infeksi hepatitis.

Pada wanita hamil kemungkinan untuk terjangkit hepatitis virus adalah sama dengan wanita tidak hamil pada usia yang sama. Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa di negara sedang berkembang, wanita hamil lebih mudah terkena hepatitis virus. Hal ini erat hubungannya dengan keadaan nutrisi dan higiene sanitasi yang kurang baik. Jadi, tetap jagalah kebutuhan nutrisi dan hygiene diri Anda sebelum dan selama kehamilan. Hepatitis virus dapat timbul pada ketiga trimester kehamilan dengan angka kejadian yang sama, tetapi Siegler dan Keyser (para peneliti) mendapatkan angka 9.5% hepatitis virus terjadi pada trimester I, 32% terjadi pada trimester II, dan 58,5% terjadi pada trimester III. Gambaran klinik, laboratorium, dan histopatologi adalah sama dengan penyakit hepatitis virus pada orang tidak hamil.

Hepatitis adalah hati (hepar) yang terkena infeksi sehingga terjadi inflamasi/peradangan (-itis). Hepatitis dapat disebabkan oleh alkohol, obat-obatan, penyakit autoimun, penyakit metabolik dan virus. Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati dan merupakan penyebab ikterus yang tersering pada kehamilan yang tercatat lebih dari 40% kasus. Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari 5 jenis virus, yaitu : virus hepatitis A, B, C, D, E. Jenis virus lain yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G telah dapat diidentifikasi, namun tidak diketahui apakah berbahaya bagi manusia atau tidak. Hepatitis A, B, C dan D tampaknya tidak mempunyai efek buruk pada kehamilan pada wanita dengan gizi dan perawatan medik yang baik. Berbeda dengan hepatitis E yang sering berisiko tinggi terhadap kematian maternal. Secara normal, kehamilan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit hepatitis, kecuali pada wanita hamil yang menderita hepatitis E.

Hepatitis A

Virus hepatitis A (HVA) ditularkan melalui fekal-oral/makanan dan minuman yang terkontaminasi. Secara kasar, penyakit ini terjadi pada 1:1000 ibu hamil di seluruh dunia. Memang sangat sedikit bila dibandingkan dengan 1000 orang ibu hamil, tetapi tetap saja perlu diwaspadai. Kematian terjadi kurang dari 1% dari pasien dengan hepatitis A akut. Biasanya perjalanan penyakit berlangsung 2-3 minggu. Tidak terdapat bentuk kronis (menderita sakit yang berkepanjangan) dari hepatitis A dan penyembuhan tergantung pada imunitas untuk mencegah terjadinya reinfeksi.

Gejala:

Setelah 2-6 minggu terpapar, timbul flu-like syndrome, yaitu cepat lelah, demam, anoreksia (tidak nafsu makan), artralgia (nyeri pada sendi) dan sakit kepala. Saat ini merupakan saat yang paling menular. Kemudian diikuti ikterus (kuning) yang terlihat paling mudah pada sklera (bagian putih mata) dan kulit, air seni berwarna gelap, BAB (buang air besar) cair dan nyeri pada perut kanan atas. Pada penyakit yang berat, didapatkan mulut yang berbau khas. Penyakit ini bersifat self-limited (dapat sembuh sendiri).

Terapi/pengobatan:

Hanya perlu diberi terapi simptomatis (obat-obatan yang hanya untuk mengurangi keluhan), seperti mencegah dehidrasi, istirahat yang cukup, dan pemberian nutrisi yang adekuat. Biasanya akan sembuh dalam 1-2 bulan. Atau pada wanita hamil yang telah terpapar infeksi dapat diberikan imunisasi, yaitu imuno-?-globulin (dengan dosis 0,02 mg/kgBB). Terapi ini hanya efektif jika diberikan dalam waktu 2 minggu. Vaksinasi hepatitis A dapat diberikan bersamaan dengan imuno-?-globulin. Dengan vaksinasi akan melindungi kadar antibodi dalam 10-14 hari. Telah dilaporkan bahwa efektivitas vaksinasi lebih dari 90%.

Bila antibodi IgM (suatu protein tubuh yang muncul pada saat tubuh terpapar infeksi kuman, yang berguna untuk pertahanan tubuh) ada pada ibu saat trimester ketiga, pengobatan pada bayi baru tidak perlu diberikan. Bagaimanapun, jika antigen (suatu zat yang menstimulasi pembentukan antibodi) hepatitis A terdapat pada kotoran pada saat kelahiran bayi atau ketika penyakit terjadi 2-3 minggu terakhir kehamilan/sebelum melahirkan, bayi yang baru lahir harus mendapatkan terapi immunoglobulin karena bisa tertular dari ibu dan vaksinasi hepatitis A harus diberikan pada umur 1 tahun.

Kehamilan dengan hepatitis A tidak menyebabkan peningkatan angka kematian ibu karena tidak ada bukti yang menyatakan bahwa hepatitis A merupakan agen teratogenik/keganasan dan risiko dari transmisi vertikal (dari ibu ke janin) sangat rendah. Jika bayi baru lahir terpapar, infeksi biasanya ringan dan mereka akan mempunyai kekebalan seumur hidup. Hal yang perlu diperhatikan adalah sangat penting untuk mengisolasi wanita hamil yang terinfeksi untuk menghindari penularan ke orang lain.

Hepatitis B

Virus hepatitis B (HBV) ditularkan melalui hubungan seksual, penggunaan obat jarum suntik yang terkontaminasi, akupuntur, tato dan transfusi darah. Penyakit ini dapat terjadi dalam bentuk akut, subklinis dan kronik. Gejala hepatitis B amat bervariasi, dari tanpa gejala sampai gejala yang berat, seperti muntah darah dan koma. Hepatitis B akut mempuyai gejala klinis yang hampir sama dengan hepatitis A akut. HBV ditemukan pada darah, cairan semen, air liur, air susu ibu, dan cairan ketuban. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa menjelang kelahiran dan balita biasanya asimptomatik (tanpa gejala) dan dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B pada orang dewasa adalah simptomatik (jelas gejalanya) dimana kurang dari 1% kasus dapat menjadi gagal hati akut dan mati dan 95% kasus lainnya akan sembuh dengan antibodi ada untuk seumur hidup.

Pengaruh hepatitis B terhadap janin:

Resiko keseluruhan dari infeksi janin kira-kira 75% jika ibu terinfeksi pada trimester ketiga atau masa nifas (masa sesudah melahirkan) dan resiko ini jauh lebih rendah (5-10%) jika ibu terinfeksi pada awal kehamilan. Sebagian besar infeksi pada bayi baru lahir kemungkinan terjadi saat persalinan dan kelahiran atau melalui kontak ibu bayi. Sebagian kecil lainnya dapat secara transplasental (melalui plasenta).

Walaupun sebagian besar bayi menunjukkan tanda infeksi ikterus/kuning ringan, akan tetapi bayi-bayi tersebut cenderung menjadi carrier/pembawa virus tapi tidak menunjukkan gejala. Status carrier ini dapat menjadi sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler/tumor hati, yang mempunyai risiko kematian sebesar 15% – 25%.

Infeksi HBV bukan merupakan agen teratogenik/keganasan. Bagaimanapun, terdapat insidens/kejadian berat bayi lahir rendah pada ibu yang menderita infeksi akut selama hamil. Pada satu penelitian hepatitis akut maternal (tipe B atau non-B) didapatkan bahwa hepatitis tidak mempengaruhi insidens/kejadian dari malformasi kongenital (lahir cacat), lahir mati, abortus, atau malnutrisi intrauterin. Tetapi, hepatitis akut dapat menyebabkan peningkatan insidens prematuritas.

Penanganan:

1. Antepartum/sebelum melahirkan

* Mendapat kombinasi antibodi pasif (immunoglobulin) dan imunisasi aktif vaksin hepatitis B
* Tidak minum alkohol
* Menghindari obat-obatan yang hepatotoksik seperti asetaminofen yang dapat memperburuk kerusakan hati
* Tidak mendonor darah, bagian tubuh dan jaringan
* Tidak menggunakan alat pribadi yang dapat berdarah dengan orang lain misalnya sikat gigi dan pisau cukur
* Menginformasikan pada Dokter Anak, Kandungan Kebidanan dan perawat bahwa mereka carrier hepatitis B
* Memastikan bahwa bayi mereka mendapat vaksin hepatitis B waktu lahir, umur 1 bulan, dan 6 bulan
* Kontrol sedikitnya setahun sekali ke dokter pribadi
* Mendiskusikan resiko penularan dengan pasangan mereka dan mendiskusikan pentingnya konseling dan pemeriksaan

2. Persalinan

Walaupun persalinan secara seksio sesarea/sesar sudah dianjurkan untuk menurunkan transmisi HBV dari ibu ke anak, akan tetapi jenis persalinan ini tidak berarti dapat menghentikan transmisi HBV. Tetapi seksio sesarea sangat disarankan oleh Centers for Disease Control (CDC) dan American College of Obstetricians and Ginyecologists (ACOG).

3. Bayi baru lahir

Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi (termasuk carrier) harus di terapi dengan kombinasi dari antibodi pasif (immunoglobulin) dan aktif imunisasi dengan vaksin hepatitis B.

4. Menyusui

Dengan imunoprofilaksis hepatitis yang sesuai, menyusui tidak memperlihatkan resiko tambahan untuk penularan dari carrier virus hepatitis B. Jadi, para ibu yang menderita hepatitis B dapat menyusui tanpa takut menularkan ke sang buah hatinya.

Hepatitis C

Virus hepatitis C (HCV) dulu dikenal dengan hepatitis non-A non-B yang ditularkan melalui darah (obat suntik, tranfusi darah, pada saat persalinan). Penularan seksual HCV kelihatannya tidak begitu besar seperti virus hepatitis B. Penularan antara pasangan seksual dengan infeksi kronik HCV tanpa faktor resiko lainnya kira-kira hanya sebesar 5%.

Seseorang yang terinfeksi akut mempunyai gejala berupa kehilangan nafsu makan, mual, muntah, demam, nyeri perut dan ikterus. 60-70% pasien dengan infeksi HCV akut bersifat asimptomatik/tidak menunjukkan gejala.

Angka transmisi vertikal (dari ibu ke janin) dilaporkan berkisar 0 – 36%, dengan rata-rata 5-6 %. Resiko penularan pada mereka dengan infeksi HIV sampai 44%. Banyak pasien menjadi penderita kronik, yaitu sebesar 70-90% kasus. Dari kasus tersebut 15-20% akhirnya berkembang menjadi sirosis hepatis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoseluler/tumor hati, dimana terdapat 40% kematian akibat penyakit hati kronik tersebut.

HCV bukan berupa agen teratogenik. Anak yang terinfeksi kemungkinan besar akan menjadi kronis. Akan tetapi, harus diingat bahwa semua bayi baru lahir akan mempunyai antibodi dari maternal.

Pada satu penelitian, sama halnya dengan hepatitis B, hepatitis C akut (non-A non-B) tidak mempengaruhi insidens/kejadian malformasi kongenital(lahir cacat), lahir mati, abortus, atau malnutrisi intrauterin. Bagaimanapun, hepatitis akut meningkatkan insidens prematuritas. Kehamilan itu sendiri tidak dipengaruhi oleh efek buruk HCV kronis.

Penanganan:

1. Prakonsepsi/sebelum mengandung

Idealnya penanganan prenatal/sebelum melahirkan harus dimulai pada konsultasi prekonsepsi dengan dokter (diskusi tentang riwayat medik sekarang : diagnosa, perjalanan penyakit, adanya komplikasi; riwayat medis dahulu : kondisi hati; riwayat obstetrik/persalinan dahulu : transfusi, perdarahan; riwayat obat : resep obat yang hepatoksik (racun bagi hati), terapi interferon dan ribavirin (ribavirin bersifat teratogenik; sehingga seorang ibu tidak boleh hamil selama dilakukan pengobatan), obat bebas seperti asetaminofen, penyalahgunaan obat di mana pernah menggunakan suntikan obat; riwayat alkohol; tes fungsi hati; pemberian imunisasi dan kekebalan; riwayat asal penyakit, implikasi pada kehamilan, konsekuensi pada janin, resiko penularan vertikal, pemeriksaan fisik dan terapinya). Terapi kombinasi harus lengkap diberikan untuk sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum hamil.

2. Prenatal/sebelum melahirkan

Wanita yang positif HCVnya harus berkonsultasi dengan dokternya segera selama masa kehamilan untuk penanganan prenatal yang luas. Pemeriksaan awal yang meliputi kesehatan fisik umum dan fungsi hati akan menentukan pendekatan dari tim multidisiplin. Awal kehamilan juga merupakan waktu terbaik untuk mengetahui perkembangan lanjut melalui:

* Pemeriksaan umum dan pemeriksaan lanjut untuk mencari faktor risiko pada kunjungan awal dan berkala. Jumlah kunjungan harus ditentukan berdasarkan kondisi umum dan obstetrik pasien. Pasien tidak boleh mengkonsumsi alkohol. Lebih baik tidak menggunakan obat yang berpotensial hepatotoksik atau memerlukan metabolisme hati selama hamil.
* Pemeriksaan fungsi hati yaitu pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar aminotransferase, albumin, bilirubin, Anti HBs, Anti HA total atau IgG, HCV RNA kualitatif.
* Monitor kehamilan melalui fungsi hati termasuk transaminase diperiksa setiap trimester.
* Diagnosis melalui USG : indikasi/keperluan pemeriksaan melalui USG tidak berbeda dengan pemeriksaan pada wanita hamil umumnya.
* Sebisa mungkin untuk tidak melakukan tindakan yang invasif, seperti amniosentesis/pengambilan air ketuban, biopsi korionik vili untuk menghindari risiko penularan melalui darah.

3. Intrapartum/ketika melahirkan

* Cara melahirkan : berdasarkan penelitian retrospektif didapatkan bahwa angka penularan yang rendah dengan seksio sesarea, tapi wanita dengan HCV diperkenankan untu melahirkan spontan, kecuali terdapat masalah obstektrik dan tidak perlu mengisolasi ibu dan anak.
* Infeksi HCV bukan merupakan indikasi untuk induksi persalinan.

4. Postpartum/sesudah melahirkan

* Menjaga kebersihan dari bahan yang berpotensi menginfeksi
* HCV RNA dan antibodi anti HCV memang terdapat pada kolostrum dan susu ibu. Namun tidak terdapat kasus penularan melalui menyusui, jadi menyusui bukan kontraindikasi, sehingga menyusui bisa dilakukan
* Kontrasepsi.

5. Penanganan Bayi Baru Lahir

* Bayi dapat dirawat sesuai penanganan RS umumnya. Ibu tidak perlu penanganan khusus seperti menggunakan sarung tangan, masker, dan sterilisasi ektra.
* Semua bayi dari ibu dengan HCV pasti positif untuk anti HCV waktu lahir. Bayi yang tidak terinfeksi biasanya hilang antibodinya sewaktu umur 12-15 bulan. Makin tinggi kadar ibu, makin lama menghilang.
* Sebagai tambahan imunisasi rutin, imunisasi hepatitis harus diberikan pada masa postnatal/setelah melahirkan.


Hepatitis D

Virus hepatitis D (HDV) dapat diisolasi dari inti hepatitis B. Infeksi virus hepatitis D terjadi saat infeksi hepatitis B, oleh karena virus hepatitis D tidak mampu menciptakan kapsul permukaannya dan menggunakan kelebihan HBsAg untuk membentuk kaspulnya.

Gejala biasanya timbul mendadak, dengan tanda dan gejala yang mirip dengan hepatitis B (gejalanya dapat parah dan selalu dikaitkan bersamaan dengan infeksi virus hepatitis B). Hepatitis D mungkin dapat sembuh dengan sendirinya atau dapat berkembang menjadi hepatitis kronis. Penderita anak-anak mungkin menunjukkan gejala klinis yang berat dan selalu berlanjut menjadi hepatitis kronis aktif.

Diperkirakan cara penularannya mempunyai kesamaan dengan HBV, yaitu oleh karena terpapar dengan darah yang terinfeksi dan cairan tubuh, jarum yang terkontaminasi, dan penularan melalui hubungan seksual.

Pencegahan:

Upaya pencegahannya sama dengan untuk hepatitis B. Bagi orang-orang dengan HBV kronis, maka upaya pencegahan yang paling efektif adalah hanya dengan menjauhkan diri dari sumber potensial HDV. Vaksin hepatitis B tidak dapat melindungi seseorang dengan HBV kronis untuk terkena infeksi HDV. Penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan dengan cara mengurangi pemajanan seksual dan penggunaan jarum suntik menurunkan insisden infeksi HDV.

Hepatitis E

Virus hepatitis E (HEV) ditularkan melalui jalur oral-fekal (makanan dan minuman yang terkontaminasi) dengan air minum yang tercemar tinja merupakan media penularan yang paling sering terjadi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa hepatitis E kemungkinan merupakan infeksi zoonotic/berasal dari binatang yang secara kebetulan menyebar dengan manusia secara cepat.

HEV endemik dibeberapa bagian negara berkembang yang sanitasinya kurang baik dan bersifat self-limited (dapat sembuh sendiri). Gejala klinis penyakit ini mirip dengan hepatitis A, tidak ditemukan bentuk kronis. Infeksi akut umumnya lebih ringan dari infeksi akut HBV dan ditandai dengan peningkatan kadar aminotransferase. Wanita hamil yang terinfeksi akut khususnya pada trimester ketiga mempunyai resiko 15% gagal hati fulminan dan angka kematian5 %. Terapi untuk pasien yang terinfeksi HEV hanya bersifat suportif.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran epidemiologis, dan menyingkirkan faktor penyebab yang lain dari hepatitis. Pemeriksaan serologis sedang dikembangkan saat ini untuk mendeteksi antibodi HEV, tetapi belum tersedia secara komersial. Meskipun demikian, beberapa jenis tes diagnostik tersedia di berbagai laboratorium riset antara lain : enzyme immunoassay dan Western blot assay, tes PCR, dan immunofluorescent antibody blocking assay.

Pencegahan:

Pembuangan tinja secara saniter/menurut tempatnya dan mencuci tangan dengan benar setelah buang air besar dan sebelum menjamah makanan

Penanganan:

Tidak ada produk vaksin yang tersedia untuk mencegah hepatitis E. Pada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan prototipe vaksin pada binatang, vaksin tersebut dapat merangsang pembentukan antibodi yang melemahkan infeksi HEV tetapi tidak dapat mencegah ekskresi virus dalam tinja.

Hepatitis G

Virus hepatitis G (HGV) lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi hepatitis B atau C atau dengan riwayat penyalahgunaan obat intravena. Tidak terdapat status carrier kronik. Penularannya dapat secara vertikal. Infeksi gabungan HGV terdapat pada 5 % dengan infeksi HBV kronik dan 10 % dengan infeksi HCV kronik. Bagaimanapun juga, apakah HGV benar patogen pada manusia belum jelas.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa hepatitis merupakan penyebab ikterus/kuning yang paling sering terjadi dalam kehamilan. Akan tetapi, kehamilan itu sendiri tidak mempengaruhi perjalanan penyakit hepatitis dan kehamilan tidak akan mempercepat proses penyakit ataupun menyebabkan penyakit menjadi lebih parah. Meskipun demikian, para ibu hamil tetap harus waspada dan melakukan pencegahan sedini mungkin. Sedangkan untuk terapinya, hepatitis yang self-limited (A & E) cukup dengan terapi simptomatis sehingga para ibu tidak perlu terlalu khawatir yang nantinya malah akan mengganggu mental/psikis para ibu yang akan berefek buruk pada sang buah hatinya. Sedangkan hepatitis B, C, D, ibu dan bayi harus diberikan terapi dengan kombinasi dari antibodi pasif (immunoglobulin) dan aktif imunisasi.

Akan lebih baik lagi apabila para calon ibu yang hendak hamil melakukan skrining untuk hepatitis terlebih dahulu terutama hepatitis B dan C sehingga dapat dideteksi lebih dini, namun sayangnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia hal tersebut belum bisa diterapkan mengingat biaya yang mahal dan fasilitas yang memadai belum merata diseluruh daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar